Khadam Nabawi

Khadam Nabawi

Dec 29, 2009

Lihatlah Alam Dengan Mata Batin


Alam semesta ini tampak mempesona secara lahiriyahnya, sedangkan batin (dibaliknya) adalah pelajaran mulia. Nafsu hanya memandang pesona lahiriyahnya sedangkan hati memandang pada batin pelajaran mulia yang tersembunyi.
Syeikh Zarruq dalam syarah Hikam mengatakan, siapa yang memandang lahiriyahnya akan terpenjarakan, dan siapa yang memandang batinnya semesta akan mendapatkan petunjuk. Jika orang tenggelam pada alam semesta ia akan terlempar dariNya, dan jika merasa tenteram dengan dunia itu ia akan menentangNya. Apabila ia berpaling hati dari alam semesta maka ia akan dibukakan petunjuk di dalamnya. Orang yang cerdas akan lebih senang jika menghindari dunia dibanding menerima dunia, dan sangat hati-hati menerima dunia dibanding menghindarinya.
Mereka, para Ulama Salaf - semoga Allah meridloi mereka -- manakala dunia menghadap mereka, mereka mengatakan, "Duh, semua dosa telah dicepatkan siksanya." Sebaliknya jika kefakiran menghadap mereka, maka mereka katakana, "Selamat datang syi'ar kaum sholihin…
Begitu pula Rasulullah SAW. yang telah maksum dari segala kesalahan dan kealpaan ketika dihadapkan pada tawaran kunci seluruh kekayaan di bumi, malah beliau menolaknya. Melainkan beliau memilih lapar sehari, makan sehari. Ketika putri tercintanya, Fathimah ra, memohon agar diberi seorang pembantu untuk menggiling gandum, karena sangat menderita dengan pekerjaan itu, malah beliau menunjukkan agar mengingat kepada Tuhannya ketika menjelang tidurnya, sembari bersabda beliau: "Maukah kamu saya beri petunjuk yang lebih baik dibanding seorang pembantu bagimu? Yaitu ketika kalian berdua ingin masuk ke tempat tidur, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, bertakbirlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh empat kali, dan itu lebih baik dibanding seorang pembantu….
Semua itu demi upaya agar berlari dari hingar bingar duniawi, dan kembali kepada apa yang tersembunyi dibalik dunia ini. Bukankah dunia ini tak lebih dari kefanaan, kehancuran, tempat yang serba kurang dan tempat berjalan belaka? Namun seorang hamba diuji dirinya dengan kehidupan menempuh dunia ini, sekadar untuk memenuhi bekal kebutuhannya saja. Selebihnya, dunia hanyalah mimpi buruk belaka.
Oleh sebab itu jika seseorang menuruti nafsunya, dunia pasti tampak mempesona. Sementara kalau menuruti hatinya, dunia hanyalah pelajaran berharga, karena yang tampak dihati adalah yang tersembunyi di balik semesta.
"Aku tinggalkan dunia ini karena begitu cepat sirnanya dunia, sedikit sekali kekayaannya, banyak sekali penderitaannya dan sangat hina sekali kawan-kawannya."
Sebagian Ulama mengatakan, "Setiap aku memandang bentangan dunia berupa riasan indah, melainkan selalu dibukakan apa yang tersembunyi di dalamnya, berupa kesirnaan di dalamnya.
Syeikh Abu Tholib al-Makky menegaskan, "Ini semua merupakan pertolongan Allah Ta'ala kepada orang yang dilimpahiNya dari para wali-waliNya yang sangat dekat kepadaNya. Siapa yang menyaksikan dunia pada awal sifatnya tidak akan meraih pelajaran di akhirnya. Siapa yang mengenal dunia dengan batin hakikatnya tidak akan terpengaruh oleh sifat lahiriyahnya. Siapa yang dibukanan dampak dunia tidak akan dipermainkan oleh hingar bingarnya.
Nabi Isa as, bersabda, "Celaka wahai Ulama buruk, kalian seperti binatang set, fisiknya menjijikkan dan dalamnya berupa nanah."


Allah memerintahkan kepada NabiNya SAW agar tidak memandang dunia:
Janganlah kamu menjulurkan pandangan matamu pada apa yang kami hiaskan pada dunia berupa pasangan-pasangan dari hangar binger dunia dimana Kami akan menguji mereka di dalamnya.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dunia adalah ujian (fitnah), dan memandangnya sangat tercela, walau pun kategorinya tidak haram.

Dec 28, 2009

Liang Kuburan


Syeikh Muhammad Nazim Efendi
Mercy Ocean Book Two 
Rasulullah bersabda, “Wahai ummatku, jangan berpikir bahwa kuburan hanya sebuah lubang di dalam tanah, seperti yang lain. Tidak demikian. Beberapa di antaranya adalah kebun Surga dan beberapa yang lain adalah lubang neraka, penuh dengan api yang menyala.”

Rasul-rasul mempunyai kekuatan tertentu, jiwa mereka terhubung dengan surga, mereka dapat melihat dan mendengar apa yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh orang biasa. Mereka juga bisa mengetahui apa yang tidak bisa diketahui oleh orang-orang biasa. Oleh sebab itu mereka dapat memberi tahu kita mengenai kehidupan dalam kubur.

Kisah ini terjadi lebih dari seratus tahun yang lalu, diceritakan kepada Saya oleh seorang yang terpelajar di masa Konstantinopel. Seorang pelajar ilmu Syariah datang mengunjungi sebuah makam dekat sekolahnya. Dia bertemu dengan seorang penggali kubur dan bertanya berapa lama dia telah menjalani profesinya. Dia menjawab, “60 tahun!” Lalu dia bertanya kepadanya, “Hal-hal aneh apa yang telah kamu lihat selama ini?” Orang itu berkata bahwa dia telah menyaksikan dua kejadian aneh. “Suatu hari Aku sedang menantikan sekelompok orang yang menyuruhku untuk menggali sebuah lubang yang bagus untuk seorang tokoh yang meninggal pada hari itu. Aku berpikir kuburan itu harus sempurna, karena mungkin akan diperuntukkan bagi seorang jendral, mungkin Jendral Pasha. Aku menggali sebuah lubang yang baik, sehingga agaknya anda dengan mudah dapat memasukkan dua orang ke dalamnya, kemudian Aku beristirahat. Aku mulai mendengar suara mendesis dan Aku keheranan, suara apa itu? Aku menengok ke dalam lubang dan melihat lubang itu dipenuhi ular, juga kalajengking dan laba-laba hitam serta tarantula. Aku berpikir mungkin Aku telah menggali lubang di atas sarang mereka, lalu Aku menggali lubang lain di sebelah pojok dari kompleks makam ini. Ketika Aku tengah beristirahat, Aku mendengar suara desis yang sama dan dengan segera Aku menengok ke dalam lubang, dan Aku melihat lubang itu juga dipenuhi ular dan kalajengking. Dengan cepat Aku menggali lubang ketiga, tetapi tetap saja dipenuhi ular. Sebelum Aku mulai menggali lubang yang lain, rombongan telah datang, lengkap dengan Marching Band dan diiringi dengan orang yang membawa rangkaian bunga. Peti mati di letakkan di samping lubang. Orang-orang melihat ke dalam lubang dan berkata kepadaku bahwa itu adalah lubang yang bagus. Tak seorang pun yang melihat atau mendengar apa yang telah Aku lihat dan dengar. Mereka memintaku untuk menurunkan jenazah, pada awalnya Aku sangat takut, tetapi ternyata ular itu menjauhi kakiku. Ketika jenazah sudah ditinggalkan dengan segera ular itu kembali mengelilinginya dan mulai merenggut kain kafan dari tubuhnya.

Mengenai kejadian kedua, seseorang bertanya kepadaku apakah Aku mau memberi sedekah dengan menggali kuburan bagi sebuah keluarga yang miskin dan tidak mempunyai saudara yang lain. Aku berkata ya, demi Allah , semoga Allah mengampuni Aku. Aku lalu menggalinya dan sementara menunggu, Aku mencium wangi seperti fragrans yang sangat harum sehingga Aku tidak bisa menggambarkan keindahannya. Aku melihat ke dalamnya, lubang itu dipenuhi melati dan putik bunga mawar bagaikan kupu-kupu yang mengelilingi makam. Aku lalu masuk dan berbaring di sana. Keempat orang datang membawa orang miskin itu dan memanggilku, ‘Di mana kamu?’ ‘Aku di sini sedang beristirahat.’ Tak seorang pun yang melihat. Dengan cepat kami semua meletakkan tubuhnya di dalam makam dan bunga-bunga itu memenuhi tubuhnya. Aku menciumnya.”







Ini adalah bukti dari hadits Rasulullah , kalian jangan diperdaya dengan penampilan luar. Derajat seseorang di hadapan Tuhan adalah berdasarkan hatinya. Kalian harus lebih memperhatikan hatimu daripada tubuhmu.

DEFINESI SUFI


Sufisme (bahasa Arab: تصوف, taawwuf, bahasa Arab/Parsi: عرفان) ialah sebuah tradisi tasawuf Islam yang merangkumi berbagai-bagai kepercayaan dan amalan. Antaranya ialah aspek esoterik mengenai komunikasi dan dialog langsung antara penganut Islam dengan Allah. Tariqa (mazhab Sufi) boleh mempunyai kaitan dengan Syiah, Sunni, serta arah aliran Islam yang lain, atau dengan satu gabungan tradisi berbilang. Pemikiran Sufi muncul dari Timur Tengah pada abad ke-8, tetapi penganut-penganutnya kini terdapat di seluruh dunia.
Sufisme telah menghasilkan sejumlah besar puisi dalam bahasa Arab, Turki, Parsi, Kurd, Urdu, Punjabi, dan Sindhi yang merangkumi karya-karya Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, dan Sultan Bahu, serta juga banyak tradisi tarian kesalihan (umpamanya pemusingan Sufi), dan muzik seperti Qawwali.
Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan “al-Sufi” di belakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Rencana ini memberikan penerangan tentang zuhud yang dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai peralihannya ke tasawuf.

Etimologi
Beberapa etimologi untuk perkataan “Sufi” telah dicadangkan.
Pandangan yang lazim adalah bahawa perkataan “Sufi” berasal daripada Suf (صوف), sepatah perkataan bahasa Arab untuk sakhlat yang merujuk kepada mantel sederhana yang dipakai oleh zahid-zahid Islam pada zaman awal. Bagaimanapun, bukan semua ahli sufi memakai mantel atau pakaian yang diperbuat daripada sakhlat.
Lagi sebuah teori etimologi menyatakan bahawa kata dasar untuk “Sufi” ialah perkataan bahasa Arab, safa (صفا) yang bermaksud kesucian, dan merujuk kepada penegasan Sufisme terhadap kesucian hati dan jiwa.
Sesetengah orang yang lain mengatakan bahawa asal perkataan “Sufi” adalah daripada perkataan “Ashab al-Suffa” (”Teman-teman Serambi”) atau “Ahl al-Suffa” (”Orang-orang Serambi”) yang merupakan sekumpulan penganut Islam pada zaman Nabi Muhammad yang menghabiskan banyak masa di serambi masjid Nabi untuk bersembahyang.
Zuhud
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”[7]. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”[8]. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[9]
Faktor-faktor Zuhud
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah[10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[11].
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir[12].
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman[13]
Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’[14], taqwa dan zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam[15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
Peralihan dari Zuhud ke Tasawuf
Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H[16].
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.
Dari perubahan –perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak)[17]
Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :
Aliran Madinah
Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan[18].
Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain”[19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
Aliran Kufah
Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)
Aliran Mesir
Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll[20]
Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.
Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.
Keempat : Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’)[21]. Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

Kesimpulan
  • Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf.
  • Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar - pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
  • Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.


Bacaan lanjutan
  • Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
  • Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979.
  • Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
  • Al-Tusi,Nasr al-Sarraj al-Luma’, Mesir,dar al-Kutub al-Hadisah,1960
  • Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
  • Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954
  • Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984
  • Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995
  • Nicholson, A. Reynold,The Mistic of Islam, terj. BA, Jakarta, Bumi Aksara,1998
  • Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002
  • Zuhud di Abad Modern,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2000
  • Taimiyah, ibn, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro’, kairo, Mathba’ah al-Manar,1348 H.
Nota kaki
  1. Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1995, hlm. 64
  2. Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626.
  3. Prof. Dr. Amin Syukur MA, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2000, hlm. 1
  4. Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2
  5. Ibid., hlm. 3
  6. Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka), 1977, hlm. 54
  7. QS. Al-Baqarah, 2:143
  8. QS. Al-Qashash, 28:77
  9. Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55
  10. Al-Tusi, Al-Luma’,(Mesir : Dar al-Kutub al-Hadisah), 1960, hlm. 65
  11. Lihat Harun Nasution, falsafat …,op.cit., hlm. 62-63
  12. Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57
  13. Ibid., hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-21
  14. Istilah wara’ sering dipakai dalam dunia tasawuf, arti dari istilahtersebut adalah sikap menjaga diri dan membentenginya dari hal-hal yang tidak jelas hukumnya, atau dengan kata lain menjaga diri daribarang yang syubhat.
  15. Prof.Dr.Amin Syukur MA, Zuhud…,op.cit., hlm. 5-6;lihat juga al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 58 dan 250
  16. Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80- 81
  17. Ibid., hlm. 82
  18. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, (Qahirah al-Tsaqafah),1979,hlm. 72 - 75
  19. Ibn Taimiyyah,al-Shuffiyyah wa al-Fuqara’, (Kairo : Mathba’ah al-Manar), 1348 H.,hlm. 3-4
  20. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi…,op.cit., hlm. 68-80

Abu BakarAceh,Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani), 1984,hlm.57

Zawiyah Johor Bahru



Tempat Barakah Dimana Berkumpulnya Para Pecinta, bertalaqqi kitab, berzikir, mengaji dan bersuhbah...

Dec 26, 2009

Ibrahim As.


Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani
23 Desember 2005


Al-hajj ash-hurun ma`loomat faman…

Ibadah Haji segera tiba dalam beberapa hari ini. Semata untuk memenuhi kewajiban kita kepada Tuhan kita. Ummat Islam (Muslim) kini tengah bersiap-siap untuk menunaikan ibadah hajji ini.

Nisaburi berkata dalam Tafsir-nya, bahwa pada hari itu, akramallahu hadza al-Ummah bi sawmi ‘Arafat wa akram arba’a min al-anbiyaa’.

“Allah melimpahkan barakah-Nya pada hari itu dengan puasa Arafah, dan Ia SWT melimpahkan pula kehormatan pada empat Nabi pada hari itu:

1. Adam, dengan memaafkanya pada hari itu dari dosa memakan buah pohon terlarang,

2. Musa ‘alayhissalam, dengan takliim, berbicara langsung padanya di hari itu, dan

3. melimpahkan kehormatan pada Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dengan ibadah hajji dan kesempurnaan agama, serta

4. Ibrahim alayhissalam dengan melimpahkan kehormatan padanya dengan seekor domba untuk disembelih sebagai ganti penyembelihan putranya bagi Tuhannya.


Karena itulah, hari itu, yang kini tiba pada diri kita, amatlah penting. Karena itu pula Sayyidina Abu Bakr radiyAllahu ‘anhu mengetahui bahwa saat Allah SWT menurunkan ayat: Al yawma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaykum ni’matii… “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu, dan telah kucukupkan bagimu ni’matku…”, [menunjukkan bahwa] Arafat adalah puncak agama. Ia adalah tingkat tertinggi Islam. Allah SWT berfirman al-yawma, hari ini. Saat Nabi sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dalam hajjat al-wida’, haji perpisahan, setelah mengalami kemenangan penuh dan memasuki Kota Makkah dan Ka’bah, [Allah mewahyukan pada beliau] “Hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu dan Ku-cukupkan bagimu ni’mat-Ku”.

Saat ayat Quran ini turun, Sayyidina Abu Bakar radiyAllahu ‘anhu menangis. Para Sahabat yang lain bergembira. Mereka pun bertanya padanya, “Mengapa kau menangis, sedangkan tiap orang lainnya demikian bahagia?” Beliau pun menjawab, “Adalah benar apa yang dipahami setiap orang yang lain, namun yang kupahami dari ayat ini adalah bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wa-aalihi wasallam akan meninggalkan diri kita, karena wahyu telah sempurna, telah selesai.” Delapan puluh hari kemudian Nabi sallAllahu ‘alayhi wa-aalihi wasallam pun wafat meninggalkan dunia fana’ ini.

Wahai Muslim,
Setelah kesempurnaan, tak akan ada yang lainnya. Itu berarti kalian tak dapat menambahkan suatu apa pun pada agama. Selesai. Itulah makna “atmamtu”, ayat itu tak berbunyi tersempurnakan, tapi ayat itu berbunyi “Telah Ku-lengkapkan ni’mat-Ku”. Kamal berbeda degan Tamam. Kamal berarti tak ada yang melebihinya. Tak ada yang melebihi bulan purnama di pertengahan bulan, tanggal 15 bulan qomariyah. Tamam dapat berarti tamam menurut level kalian atau menurut level yang lainnya. Artinya, “Aku lengkapkan ni’mat-Ku bagimu, namun Aku melengkapkannya lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi.” Jadi, setelah Kamal, tak ada yang lain selain nuqsan.

Jadi, dalam Islam, tak ada lagi yang perlu dilengkapkan. Jika Muslim melengkapi kewajiban-kewajiban yang telah diberikan pada mereka, mereka akan berbahagia dalam kehidupan ini.

Orang-orang datang dengan membawa masalah. Itulah kebijaksanaan dan kehendak Allah. Itulah sunnatullah yang ada saat Allah menciptakan ciptaan. Sayyidina Adam ‘alayhissalam memiliki masalah-masalahnya. Musuhnya nomor satu adalah Iblis.

Nabi sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam, sang Mustafa, yang terpilih sebagai Nabi pilihan pun menghadapi masalah-masalah dari kaumnya. Bahkan hingga hari ini pun, beliau sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam tetap beroleh masalah dari orang-orang bodoh yang berkata miring tentang beliau. Namun, bagaimanakah masalah-masalah ini dapat diatasi?

Berserahdirilah! Jika kalian berserah diri pada Kehendak Allah, kalian akan menyelesaikan masalah-masalah kalian.

Dalam (Tafsir) Nisaburi, saat Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Isma’il, “idzaa araa fii manaamihi…”. Diriwayatkan dalam Tafsir tersebut, bahwa siti Hajar, istri kedua sayyidina Ibrahim, yang sebelumnya adalah hamba sahayanya, dinikahi oleh beliau setelah istrinya yang pertama, Sarah, karena istri yang pertamanya ini saat itu belum melahirkan seorang anak pun. Kita sering mendengar saat ini orang berkata, “Aku tak tahan lagi; aku akan melarikan diri!” Demikian pula saat itu, Hajar melarikan dirinya dari nyonyanya, dan seorang malaikat pun mendatanginya, seraya berkata padanya, “Kenapa kau lari? Mengapa kau meninggalkan nyonyamu Sarah?” Hajar menjawab, “Aku tak mampu lagi bersabar darinya”. Sang Malaikat berkata, “Kembalilah kamu, jangan melarikan diri! Dengarkan dan taatilah apa yang ia katakan, ia adalah nyonyamu.”

Siapakah yang dapat menerima hal seperti itu sekarang? Tak seorang pun. Kita tak mampu menerima nasihat saudara ke saudara. Kita tak pula mampu menerima nasihat, antara ibu ke putrinya, ibu ke putranya, istri ke suami atau sebaliknya, kita tak mau lagi menerima dan mendengar nasihat apa pun. Jika kita bertindak seperti Siti Hajar, untuk menerima dan berserah diri, tentu semua masalah akan terselesaikan. Jangan lari! Hadapi masalah! [Wahai Hajar] kau akan hamil dan mengandung sang Sayyid, Manusia Pilihan, yang menyampaikan Wahyu di Hari-hari Terakhir dunia ini. Jangan lari, saat itu tengah menunggumu saat dirimu mengandung sang pemimpin kemanusiaan, di mana ia sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam bersabda dalam suatu hadits “Ana sayyidii waladi Aadam wa laa fakhr”. (Aku pemimpin seluruh anak keturunan Adam, dan tidaklah aku bersombong).

Siti Hajar pun kembali, dan ia berlaku sabar hingga ia pun hamil. Ia pun melahirkan Isma’il ‘alayhissalam hingga ia berusia 13 tahun, saat mana Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Isma’il.

Mengapakah perintah penyembelihan sang anak Isma’il tersebut datang lewat mimpi? Karena para Nabi diberi wahyu lewat perantaraan Sayyidina Jibril ‘alayhissalam, kecuali Sayyidina Musa ‘alayhissalami, yang selalu dapat berbicara langsung kepada Allah. Saat Sayyidina Ibrahim ‘alayhissalam berada dalam kobaran api Namrudz, Sayyidina Jibril ‘alayhissalam mendatangi beliau dan bertanya pada beliau, “Adakah sesuatu yang kau perlukan?” Ibrahim ‘alayhissalam menjawab, “Tak ada, aku hanya membutuhkan dari Allah.”

Lalu, kenapa kemudian melalui suatu mimpi? Saat Allah Ta’ala memerintahkan pada Jibril, “Pergi dan katakan padanya untuk menyembelih putranya,” Jibril pun berkata, “Wahai Allah, mohon janganlah mengutusku untuk melakukan hal ini. Akan kulakukan apa pun yang Kau perintahkan padaku, namun aku mohon pada-Mu untuk tidak memerintahkanku membawa perintah itu. Aku telah membangun suatu persahabatan yang erat dengannya (dengan Ibrahim, red.). Ia adalah seseorang yang telah berusia lanjut. Bagaimanakah aku mampu pergi dan berkata padanya untuk menyembelih putranya yang ia dapati setelah usianya demikian tua? Selama ini belum pernah aku mendatanginya kecuali dengan kabar gembira; mohon jangan taruh diriku dalam ujian seperti itu.”

Allah pun berfirman, “Baiklah, Aku akan mengirimkan padanya mimpi.”

Ibrahim ‘alayhissalam pun melihat mimpi tersebut, dan ini terjadi pada malam ‘Arafat. Karena itulah, selepas Arafat, kita pergi dan menyembelih (qurban). Mimpi ini terjadi pada malam tanggal sembilan, dan bukan malam tanggal sepuluh. Ibrahim ‘alayhissalam pun segera berangkat dan menyembelih 100 domba. Maka, beliau pun menyembelih 100 domba, setelah ia melihat dalam mimpi bahwa dirinya diperintahkan untuk menyembelih putranya. Maka, begitu ia selesai menyembelih domba-domba tersebut, api pun menyambar dan mengambilnya. Ini adalah cara Allah SWT menunjukkan penerimaan-Nya akan kurban tersebut, sebagaimana dalam kasus Habil dan Qabil (putra-putra sayyidina Adam ‘alayhissalam). Habil menyembelih kambing terbaiknya, sedangkan Qabil mengurbankan yang terjelek. Api turun dan mengambil domba qurban Habil. Setelah peristiwa ini, Qabil menjadi dengki dan iri, sampai berakibat ia membunuh saudaranya sendiri.

Demikianlah, segala sesuatunya kini telah berubah menjadi kedengkian dan bisnis belaka. Saat orang melakukan bisnis dengan baik, kedengkian dan kecemburuan pun ditimpakan atas diri mereka. Sihir dan masalah-masalah lainnya. Setiap orang merasa dengki atas yang lainnya, dan berusaha menyakiti mereka.

Demikianlah, kembali ke kisah Ibrahim, ia demikian bahagia api turun dan mengambil ke-100 dombanya.

Kemudian ia melihat lagi mimpi yang sama pada malam tanggal 10, malam ‘Idul Adha. Ia tahu bahwa mimpi tersebut bermakna, “Wahai Ibrahim, kau mesti menyembelih putramu bagi-Ku, Aku tak menginginkan domba-dombamu. Aku menginginkan putramu.”

(Apakah kalian kira) Allah tak mengetahui bahwa Isma’il adalah ayah moyang dari Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam yang akan datang di masa kemudian? Tentu saja Allah mengetahui segala sesuatunya! Namun, Ia SWT menghendaki untuk menyembunyikan [hal tersebut] dari Ibrahim ‘alayhissalam dan menyembunyikannya pula dari Isma’il ‘alayhissalam.

Cahaya dari sang Insan Kamil (manusia sempurna) tersebut ada pada dahi Sayyidina Isma’il ‘alayhissalam. Cahaya tersebut berpindah dari sang ayah ke sang putra lewat dahi tersebut, dan ketika ia menikah, cahaya itu pun berpindah ke putranya. Cahaya itu adalah ikraaman li Muhammad (penghormatan bagi sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam). Karena itulah, kita mengatakan dalam Tafsir, bahwa sajdah kepada Adam adalah sajda ikraam (sujud penghormatan) dan bukan sajda ibadah (sujud penyembahan). Penyembahan atau ibadah hanyalah bagi Allah.

Maka, pada titik ini, apa yang mesti dilakukan (oleh Ibrahim)? Tak ada jalan lain. Maka, beliau pun menyuruh Hajar mempersiapkan Isma’il dan berkata, “Aku akan pergi dengannya.” Hajar memandikan Isma’il dan meminyakinya.

Lalu syaitan datang pada Hajar dan berkata, “Percayakah kamu pada suamimu? Ia tidak akan membawa putramu untuk pergi berpiknik; ia akan menyembelih dan mengurbankan putramu.”

Hajar menjawab, “Aku serahkan semua pada Tuhanku, aku tak peduli. Aku serahkan semua pada Tuhanku.”

Kemudian, syetan pun berpaling pada Sayyidina Isma’il dan berkata padanya, “Ayahmu akan membunuhmu!”

Isma’il menjawab, “Wahai musuh Allah, jangan kau ganggu diriku. Jika ayahku hendak membunuhku, aku pun akan berbahagia untuk pergi menghadap Tuhanku.”

Semua peristiwa ini terjadi di hari-hari Hajji.

“Qaala yaa bunayya innii araa fil manaam... Faf’al maa tu’mar!”

Sayyidina Isma’il berkata, “Aku tak akan berkata satu kata pun, tak perlu mengikatku, dan jangan kau tutup mataku, aku siap untuk Tuhanku.”

Siapa yang mampu melakukan hal tersebut sekarang? Siapa yang mampu menerimanya?

Hal ini tidaklah terlalu sulit. Lihatlah bagaimana Anbiyaullah (para Nabi Allah) menghadapi masalah dan kesulitan. Lihatlah pada diri kita, bagaimana terhadap kesulitan-kesulitan dan masalah yang demikian kecil (dibandingkan apa yang dialami keluarga Ibrahim ‘alayhissalam, red.) kita tak mampu menghadapinya!

Saat itu, Isma’il adalah putra satu-satunya. Ibrahim belum memiliki Ishaq atau Ya’qub. Sang putra, Isma’il berkata, “Wahai ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan padamu dan kau akan mendapati diriku sebagai seseorang yang sabar, dan aku pun ingin agar dirimu pun bersabar.

Seorang anak berumur 7 tahun atau 13 tahun berkata pada ayahandanya, “Bersabarlah. Namun, aku menginginkan satu hal darimu, wahai ayah.” “Apakah itu?” tanya sang ayah, Ibrahim ‘alayhissalam.

“Ambil dan bawalah bajuku, berikanlah pada ibundaku; sebagai suatu pengingat baginya bahwa aku memberikan nyawaku bagi Tuhanku. Dan, wahai Ayah, mohon katakanlah pada ibundaku seperti ini: ‘Kutinggalkan anakku di suatu tempat yang lebih baik dari tempatmu dan di suatu majelis yang lebih baik dari majelismu’. Aku kini berada di Hadirat Tuhanku.”

Ibrahim ‘alayhissalam pun tak mampu mengendalikan dirinya lagi untuk tak menangis. Tangisnya pun berurai, “Oh Allah, kasihanilah diriku atas kelemahan diriku, dan biarkanlah aku hidup lebih lama untuk memiliki seorang anak lagi. Jika Kau tak mengasihaniku, maka kasihanilah putraku, anak muda itu yang belum berdosa sama sekali, dan hanya berusia 7 tahun. Jika aku punya sesuatu dosa, tak mengapa bagiku (Kau tak mengasihaniku), namun ia tak bersalah dan tak berdosa sama sekali.”

Dan ketujuh langit pun dengan malaikat-malaikat mereka menangis! Jibril pun menangis dan Ibrahim pun menangis. Pintu-pintu langit terbuka lebar, dan Ibrahim dengan segenap tangisan dan luka dalam di hatinya, ia mengambil putranya dan menaruhnya di atas batu dengan segenap kekuatannya, dan menaruh pisaunya yang tajam di pembuluh darah di leher Isma’il putranya, sambil mendorongnya dengan keras, namun – pisau itu tak juga memotong.

Ibrahim dengan cepat berusaha memotong (anaknya) dan segera mengakhiri situasi yang penuh kesedihan tersebut, dan Allah mengujinya kembali di waktu ini. Allah Ta’ala tak mengizinkan pisau tersebut untuk menyayat leher Isma’il. Namun, ini merupakan ujian lain bagi Ibrahim – artinya ia harus melakukan sayatan potongan tersebut berulang kali, dan hatinya pun terbakar. Isma’il, putranya, berkata, “Apa yang terjadi, wahai Ayahku, aku mencium bau daging terbakar?” Ibrahim menjawab, “Dagingku terbakar dari dalam!”

Ia pun mendorongkan pisaunya sekali lagi. Namun pisau itu tak juga memotong. Allah berfirman pada Jibril, “Jika pisau itu sampai memotong leher Isma’il, akan Ku-lempar kau dari hadapan-Ku!” Maka dengan kecepatannya, Jibril melesat menuju Ibrahim. Dan Ibrahim pun melempar pisau tersebut dengan amarah karena ia tak mampu memenuhi perintah Tuhannya [padahal pisau tersebut telah diasah olehnya hingga tajam, red]. Dan pisau itu pun berkata, “Mengapakah dirimu marah?” Ibrahim menjawab, “Kau tak juga memotong leher Isma’il anakku, dan aku pun tak dapat memenuhi perintah Tuhanku.”

Pisau itu menjawab, “Ingatkah engkau ketika api tak mampu membakar dirimu?” Ibrahim menjawab, “Ya, aku ingat, dan itu karena perintah Tuhanku agar ia tak membakar diriku.” Pisau itu pun berkata lagi, “Dan aku pun mematuhi perintah Tuhanku 70 kali untuk tidak memotong leher Isma’il. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman pada api “Kuunii bardan wa salaaman ‘alaa Ibrahiim” “Jadilah engkau dingin dan menyelamatkan bagi Ibrahim”, Ia SWT pun berfirman pada diriku untuk tidak memotong leher Isma’il.” Dan dengan segera Jibril membawa seekor kambing pada Ibrahim dan berkata padanya, “Engkau telah memenuhi apa yang Allah perintahkan bagimu – maka kini sembelihlah seekor domba.”

Karena itulah, kini setiap orang menyembelih seekor domba pada hari hajji, untuk meluruhkan segenap dosa.

Isma’il berkata, “Aku ingin mengajukan satu pertanyaan? Akukah yang lebih pemurah dari dirimu, wahai Ayahku, ataukah dirimu yang lebih pemurah daripadaku?”


Ibrahim menjawab, “Aku lebih pemurah daripadamu.” Mengapa? “Karena aku memberikan putraku dengan tulus bagi Tuhanku sebagai suatu kurban.”

Isma’il berkata kembali, “Wahai ayahandaku, [dan Isma’il memiliki rahasia Nabi sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dalam dirinya] itu tidaklah benar. Kau memberikan anakmu, dan bukan dirimu sendiri. Sedangkan diriku menyerahkan jiwaku dan aku tak memiliki jiwa yang lain selain yang kupunyai saat ini. Engkau tidak menyerahkan jiwamu sendiri. Karena itu, aku lebih pemurah dari dirimu.”

Itu karena ia (Isma’il) membawa rahasia dari ruh Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam, Rahmat dan Kasih Sayang bagi seluruh ummat manusia. Rahmat bagi Kemanusiaan itu adalah sesuatu yang hebat. Inilah suatu rahasia yang ada dalam qalbu anbiya’ (para Nabi). Tak seorang pun tahu berapa tinggi dan dalam rahasia tersebut. Apa yang Sayyidina Isma’il berikan pada kita adalah suatu citarasa dari kasih sayang sang Nabi Akhir Zaman yang datang di kemudian hari (sebagai keturunan sayyidina Isma’il, red.).


Bihurmatil Habib, Al-Faatihah!

Dec 19, 2009

Hanya Satu yang Bisa Sombong - Mawlana Shaykh Nazim Adil Al-Haqqani Sultanul Awliya - Wednesday, Aug 19, 2009

Hanya Satu yang Bisa Sombong - Mawlana Shaykh Nazim Adil Al-Haqqani Sultanul Awliya - Wednesday, Aug 19, 2009

Mawlana Shaykh Nazim Adil Al-Haqqani Sultanul Awliya | Wednesday, Aug 19, 2009 | Lefke CYDastuur ya Sultan al-anbiya, ya Sultan al-Awliya, Ya RijaalAllah.
(berdiri)
Allahu akbar Allahu Akbar la ilaha illa-Llah, Allahu akbar Allahu akbar wa lillahilhamd
alfu'sh-shalaata alfu's-salama `alayku ya sayyidina ya Habiibillah, `alayka ya Sayyid al-awaliina wa'l-akhiriin, as-salaamu alayk ya nur `arsyillah
Laa quwatta illa billahi 'l-`Aliyyi 'l-`Azhiim
As-salaam `alaykum, wahai para pendengar kami! Semoga Allah memberkati kalian dan memberkati saya agar menjadi hamba-hamba yang baik.  Tidak untuk menyia-nyiakan hidup kita untuk hal-hal yang tak berguna.  Dan kita mengucapkan, a`udzu billahi min asy-syaythaan ir-rajiim dan Bismillahi ’r-Rahmani ’r-Rahiim dan kita mengatakan, “Wahai Tuhan kami!  Kami berlindung dari setan dan bala tentaranya.  Berikanlah kami lindungan Ilahiah-Mu!”
Dastuur ya rijalAllah
Ini adalah pertemuan yang sederhana dan untuk setiap acara kita mengucapkan a`udzu billahi min asy-syaythaan ir-rajiim, Bismillahi ’r-Rahmani ’r-Rahiim dan kita berlindung dari segala kotoran, kita berlindung dari orang-orang yang kotor, kita berlindung dari kehidupan yang kotor dan kita berlindung dari perbuatan yang kotor.   
Kita memohon dari Sang Pencipta kita, Tuhan pemilik surga, Tuhan bagi semesta alam, dan ciptaan akan terus mengalir bagaikan sungai, tanpa henti. 
Tak seorang pun yang mengetahui awalnya, tak seorang pun yang di mana akhirnya.  Mustahil. Segala sesuatu yang… Dastuur ya SayyidiiYa Hadhratii! Segala sesuatu yang merupakan milik Pencipta kita Yang Maha Kuasa, Maha Memiliki Kebesaran, Maha Agung, kalian tidak dapat mengetahui sesuatu yang merupakan milik-Nya. 
Tak diragukan lagi bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya, karena Dia adalah Sang Pencipta. Kapan Dia sebagai Sang Pencipta?  Dia adalah Sang Pencipta dari masa pra azali, pra abadi.  Tak seorang pun yang mengetahui awal Eksistensi Allah dan tak seorang pun mengetahui Eksistensi Tuhan kita hingga masa azali, abadi.  
Tak seorang pun mengerti makna dari abadi dan abadi itu adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti.  Kalian hanya dapat mempercayainya dan di luar itu, kalian tidak mengetahui apa-apa.  
Allah SWT (Huwaazaliyyun, abadiyyunDia adalah, Eksistensi-Nya dari masa pra abadi hingga masa abadi, oooh.  
Tetapi kita telah dianugerahkan beberapa, eh, kita mempunyai beberapa, kemampuan untuk bicara mengenai masa pra abadi dan abadi, hanya untuk mengatakan bahwa itu abadi, tetapi mustahil untuk memahaminya. 
Ya, ciptaan-Nya tanpa henti dari masa pra abadi, terus berlanjut.  Jangan berpikir bahwa Tuhan pemilik surga, Dia hanya mempunyai satu dunia, di mana kalian tinggal di dalamnya dan tidak ada yang lainnya.  Tidak.  Sebagaimana para astronom, mereka berkata bahwa ciptaan ini telah muncul sejak masa pra abadi, lalu berlari secara terus-menerus.  Tak ada yang mengetahui kapan ia berawal dan kemudidan berlari, lari, lari tak tahu sampai di mana akhirnya. 
Tidak, Dia adalah Tuhan pemilik surga.  Dia hanya Satu.  Dan Dialah satu-satunya yang dapat menciptakan dan ciptaannya terus-menerus muncul tanpa henti. 
Wahai manusia! Kita telah dianugerahkan suatu pemahaman dan pemahaman kita melebihi pemahaman makhluk lainnya.  Untuk setiap makhluk terdapat suatu level pemahaman.  Kalian tidak dapat menemukan seseorang di dunia ini yang tidak mengerti tentang dirinya.  Mereka semua mengetahuinya.  Setiap orang, mereka mempunyai suatu level pemahaman dan ada tak terhingga ciptaan, dan setiap ciptaan yang muncul ke dunia ini dengan Perintah Suci Tuhan kita, Dia hanya mengatakan “Jadilah!”  dan jadilah ia di dunia ini. 
Kalian harus berusaha untuk mengetahui sesuatu berdasarkan kapasitas kalian atau berdasarkan kemampuan kalian, kalian dapat memahami sesuatu yang dikaruniakan kepada kalian. 
Dan kalian sebagai seorang manusia, kalian tahu tentang diri kalian dalam satu arah pemahaman sementara orang kedua tidak menggunakan arah pemahaman itu.  Kalian dapat memahami atau kalian telah dikaruniai suatu pemahaman tentang diri kalian dan kalian juga telah dikaruniai pemahaman tentang makhluk di sekitar kalian. 
Ciptaan. Samudra yang tak pernah bertepi.  Allahu akbar, Allahu akbar! Samudra tak bertepi.
Bahkan kalian, wahai orang-orang yang sombong, kalian mempelajari beberapa jalur ilmu pengetahuan, kalian mengatakan bahwa level dari makhluk yang berbeda-beda, kalian dapat mengatakan sesuatu secara umum, tetapi melalui eksistensi makhluk itu, ada banyak sekali level pemahaman karena setiap makhluk pasti tahu tentang Pencipta mereka. 
Tetapi mengenai pengetahuan kalian, itu berdasarkan level pengetahuan kalian, jika kalian lenyap di dalamnya.  Oleh sebab itu kita harus memberi lebih banyak waktu—barangkali kita harus memberikan seluruh kemampuan kita, kapasitas kita, pemahaman, kemauan, mentalitas dan kekuatan hati yang sakral melalui hati kalian, untuk memahami sesuatu, sesuatu lebih dan lebih lagi. 
Tetapi bila kalian mengatakan bahwa itu bukanlah suatu pengakuan yang terlalu besar, bahwa saya dapat mengatakan satu atom, kalian dapat mengetahui sesuatu tentang atom itu.  Tetapi pengetahuan kalian mengenai atom itu bukanlah titik terakhir dari pengetahuan kalian. 
Kalian harus menjaga apa yang kalian katakan yang membuat hamba yang lemah untuk berbicara mengenai hal semacam itu.  Saya katakan dengan cara demikian untuk memberi pemahaman tentang Samudra Kekuasaan Tuhan kita yang tak pernah bertepi, tentang Kemampuan dan Kapasitas yang tak terhingga, tentang Otoritas dan Kehendak yang tak terhingga untuk menciptakan dan membawa ciptaan itu menjadi nyata, ciptaan yang tak terhingga dan tak terhingga banyaknya. 
Apakah kalian berpikir bahwa Anda, Profesor Abdullah, bahwa kedua atom itu, masing-masing mengetahui satu sama lain, sebagaimana itu perlu diketahui dan dipahami?  Apakah menurut kalian atom yang satu memahami tentang realitas atom kedua? 
Tidak, itu adalah mustahil.  Itu berasal dari kapasitas sebagaimana kemampuan untuk mengetahui tentang dirinya sendiri, tetapi saya tidak berpikir bahwa ada ilmuwan atau doktor, atau alam yang mengaku bahwa satu atom memahami atom lainnya sebagaimana ia mengetahui dirinya sendiri. 
(Gas) Hidrogen: dua atom hidrogen. Apakah menurut kalian keduanya mengetahui rahasia dirinya masing-masing sebagaimana mereka mengenal diri mereka sendiri?  Tidak mungkin. 
Kau, kau adalah seorang pria, tetapi kau tidak bisa mengetahui rahasia pria yang lainnya.  Ia mempunyai identitas, sebagaimana kalian juga mempunyai identitas lainnya.  Kalian mempunyai kepribadian seperti halnya orang kedua, ia mempunyai identitas dan kepribadian. 
Segala sesuatu (pada orang pertama) tidak mungkin berada dalam kategori yang sama dengan orang kedua.  Masing-masing mempunyai kategori tertentu dan orang kedua tidak sepenuhnya masuk dalam kategori orang pertama. 
Ada satu bulan, ada sepuluh milyar orang.  Masing-masing pengetahuan mereka tentang bulan berbeda-beda..
Bulan datang dan muncul melalui pengetahuan kita dan mentalitas kita di jalur lain, berbeda, berbeda, berbeda. 
Mereka semua membuat saya berbicara tentang topik ini untuk memahami Kebesaran Tuhan pemilik surga, Sang Pencipta. 
Jika kalian akan menjadi… (tidak mampu) tidak mampu untuk memahami dan menjadi mampu memahami, hal itu tidak akan sama dengan orang yang lain.  Oleh sebab itu pemahaman orang terhadap bulan menjadi berbeda, berbeda, berbeda.  Jutaan dan milyaran perbedaan.  Itulah posisi Sang Pencipta untuk membuat orang mengetahui bahwa Dia, Sang Pencipta bukanlah seseorang yang kalian bayangkan. 
Sang Pencipta, Allah SWT, di luar jangkauan pengetahuan kita, dan di luar yang dapat kita bayangkan.  Bahkan imajinasi kalian tidak dapat mencapainya..  Dia adalah Yang Maha Besar, Tuhan pemilik surga, Tuhan Sang Pecipta. 
Sekarang kita meminta dan mereka membuat saya berbicara mengenai hal ini, untuk menghancurkan kesombongan manusia.  Karena setan meniupkan ke dalam mentalitas manusia mengenai ide-ide yang salah.  Dan ia (setan itu) meminta untuk membawa manusia pada level yang mengatakan, “Sang Penciptamu yang itu, tidak mungkin, karena Pencipta kita juga di luar imajinasi kita.” 
Dan imajinasi kita merupakan sesuatu yang kecil, kapasitas kita untuk berimajinasi akan semakin menurun, menurun, menurun dan akan berakhir hingga nol.  Bahkan imajinasi kita tidak pernah mencapai sesuatu dari Eksistensi Pencipta kita.  Mahasuci Allah. 
Kita harus melanjutkan waktu demi waktu tentang hal ini untuk menghancurkan kesombongan manusia.  Karena karakter paling berbahaya yang diambil manusia dari sumber-sumber setani adalah kesombongan itu. 
Manusia meminta untuk menjadi orang yang sombong dan kita berusaha untuk membuat imajinasi mereka mencapai titik nol.  Karena manusia akan mendapat penderitaan atau kerusakan yang hebat dari kesombongan itu dan jika kalian tidak menghancurkannya, kesombongan itu akan berlanjut dan kalian akan merusak dan menyakiti segala sesuatu  dan kalian akan  berada pada level di mana Tuhan pemilik surga meminta kalian untuk menjadi hamba-Nya.
Dari masa pra abadi, (Dia) bertanya kepada kalian, “Wahai hamba-Ku!  Apakah kau menerima-Ku sebagai Penciptamu?”  Mereka semua berkata, “Bala - ya, Allah SWT, kami adalah hamba-hamba-Mu."  Itulah ikrar kita di Hadirat Ilahi di mana pada saat itu belum ada waktu dan ruang. 
Tak ada waktu, tak ada ruang, (dan Dia SWT) bertanya, “Apakah kau menerima-Ku dalam Eksistensi-Ku saja?  Apakah kau bersujud kepada Ketuhanan-Ku yang Agung, wahai hamba-Ku?  Apakah kau menerima bahwa Aku adalah Tuhanmu, Yang Maha Tinggi dan Mahasuci?  Apakah kau menerima bahwa kau adalah hamba-Ku dan Aku adalah Tuhanmu?"
Kita berkata, "n`am, ya Tuhan kami!  Kami menerima itu yang utama.”  .. bahwa kami membuat `ahad, sumpah itu.  Setan datang dan berkata, "Tidak!  Kalian harus minta, kalian harus berusaha untuk masuk ke dalam eksistensi seseorang.  Kalian harus berusaha untuk menjadi orang yang sombong di Hadirat Ilahi."
Siapa kalian yang berani mengatakan hal ini?  Tetapi ajaran setan hanya pada hal tersebut, yaitu untuk membuat orang berikrar bahwa mereka adalah seseorang dalam eksistensinya. 
Tidak, kalian harus berikrar dan kalian harus menjadi tsaabit, (teguh) teguh dalam penghambaan dan hamba tidak dapat mencapai level untuk menjadi sombong sejak masa pra abadi hingga masa abadi. 
Dan segala sesuatu yang akan membuat orang rusak adalah mengaku bahwa, “Aku adalah orang yang sombong.”  Dan mereka menciptakan, saya dapat mengatakan, umat manusia yang membuat sebutan tak terhingga banyaknya untuk membuat itsbaat al-wujuud, setiap orang meminta agar dibuatkan bukti bagi mereka bahwa mereka adalah sesuatu dalam eksistensinya, oleh sebab itu mereka mengaku bahwa mereka adalah orang-orang yang sombong dan kemudian para malaikat menendangnya sebagaimana mereka menendang setan. 
Dan seluruh nabi datang untuk mengajarkan manusia mengenai sumpah mereka di Hadirat Ilahi dan untuk menerima bahwa mereka hanyalah hamba dan hamba tidak bisa sombong dan kesombongan hanya untuk Allah SWT. 
Semoga Allah mengampuni kita.
Ya tuan,
dumm,dumm,dumm,dummm,dumm,dummm,
(bernyanyi)
Wahai manusia
Datang dan dengarkan
Apa yang berkata pada kalian
Makhluk-makhluk surgawi
berkata, memanggil kalian
untuk menjadi hamba
bagi Tuhan Sang Pencipta
sejak masa pra abadi
hingga masa abadi
hingga abadi
hanya Dia
yang bisa sombong
hanya Tuhan kalian saja
Tak ada yang lain
Yang bisa sombong
Kalian harus berusaha
Untuk menyatakan penghambaan kalian
Sebagaimana kalian telah memberi
Ikrar kalian pada waktu itu
Di mana belum ada waktu
Tak ada ruang, tak ada waktu
Kalian mengatakan
"Engkau adalah Tuhan kami!
"Hanya Engkau yang ada dan tak ada yang lain!"
Fatiha
mengerti?
(Ya Tuan, alhmadulillah, indah sekali)
Waktu?
(38 menit.)
38?
38 ya, ya. (bernyanyi)
Wahai manusia datang dan dengarkanlah
Datang dan terimalah
Apa yang surga,
Surga katakan kepadamu
Pasang telinga kalian untuk mendengar
Bahwa kalian hanyalah hamba
Tak ada tuhan, tuhan yang lain, mustahil
Wahai manusia!
dumm,dumm,dumm,dummm,dumm,dumm,
dumm,dumm,dumm,dummm,dumm,dumm.
Allah Allah Allah Allah
Allah Allah Allah Allah
Allah Allah Allah Allah
Allah Allah Allah Allah
Seluruh Keagungan, seluruh Kemegahan
Seluruh Kehormatan adalah untuk-Mu
Wahai Tuhanku,
Sang Pencipta kita
Kami adalah hamba-Mu yang lemah
Kau adalah Tuhan kami
Dan Pencipta